contoh persoalan kebangsaan yang krusial untuk ditanggulangi
IPS
puputinta1852
Pertanyaan
contoh persoalan kebangsaan yang krusial untuk ditanggulangi
1 Jawaban
-
1. Jawaban Rimor
Menurut Pak Ryaas, saat ini paling tidak ada lima masalah krusial bangsa yang perlu mendapat perhatian banyak pihak.
Pertama , tentang amandemen UUD 1945 yang sudah berjalan sebanyak empat kali, tapi tidak lagi sejalan dengan keinginan para pendiri bangsa ( founding fathers ). “Kini yang berlaku sistem liberal, begitu juga dalam politik dan ekonomi kita. Saya bahkan pernah membaca dalam salah satu majalah, Panglima TNI berani mengatakan bahwa demokrasi kita saat ini sudah tidak Pancasilais lagi. Ini kan berbahaya,” tegasnya.
Akibat amandemen itu, kini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RItidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Kedudukannya sama dengan DPR RI dan DPD RI. MPR kini kerjanya hanya seremonial. Padahal dulu, MPR begitu kuat pengaruhnya. Sementara DPD yang dibentuk untuk menyuarakan aspirasi daerah juga tidak diberi kewenangan yang seharusnya. “DPD juga nggak ada gunanya. Hanya diskusi dan diskusi,” sesal Ryaas lagi.
Kedua , sistem dalam Pilpres atau Pilkada yang menggunakan rumus 50 + 1 adalah sistem yang berlaku dalam demokrasi liberal berbasis individualisme. Sementara masyarakat Indonesia menganut budaya komunalisme atau berkelompok. Di sisi lain, demokrasi liberal lebih pas bagi masyarakat yang sudah berpendidikan. Padahal, masyarakat Indonesia mayoritas masih tamat SD dan tidak tamat SD. Akibatnya, pemimpin yang terpilih tidak jelas integritas, kompetensi dan komitmennya, karena semua prasyarat untuk memilih pemimpin yang baik ditabrak semua. “Kalaupun ada pemimpin yang baik yang terpilih, misalnya di daerah, itu hanya kebetulan saja,” sebut Ryaas.
Ketiga , kita menganut sistem presidensial, tapi dalam kenyataannya tidak presidensial. Buktinya, dalam memilih para pembantunya, seperti menteri, presiden tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh partai politik. Padahal seharusnya dalam sistem presidensial, seorang presiden hanya mengedepankan profesionalisme dalam memilih para pembantunya. “Mustahil pemerintahan bisa efektif kalau presiden harus mengakomodir semua keinginan partai-partai politik,” tegaspria asal Gowa, Sulsel itu.
Pak Ryaas lalu mencontohkan kasus bencana asap yang menimpa Sumatera dan Kalimantan, dimana tidak mampu ditangani dengan baik oleh Pemerintahan Jokowi. “Ini salah satu contoh saja. Ini menunjukkan bahwa sistem kita gagal. Kita seperti tidak ada keseriusan mengurus negara ini. Yang anehnya lagi, pejabat tinggi kita masih saja bisa mengeluarkan pernyataan yang tidak simpatik ketika negeri tetangga juga ikut terganggu dengan asap ini,” sambungnya, heran.
Keempat , adanya distorsi otda. Sejak otda berlaku, praktik korupsi menjadi lebih luas. Banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi dan masuk penjara. Sejak otda berjalan, pemekaran daerah juga menjadi tidak terkendali. Ini menjadi semacam gerakan separatisme lokal. “Distorsi ini yang harus kita minimalisir, antaralain dengan tidak lagi melakukan pilkada langsung untuk pemilihan bupati/walikota, tapi cukup oleh DPRD saja karena cost -nya terlalu tinggi,” kata Ryaas.
Ryaas tidak melihat keuntungan apapun untuk rakyat dari Pilkada langsung. Yang diuntungkan hanya segelintir orang, seperti media massa yang mendulang banyak iklan, para konsultan politik dan termasuk lembaga-lembaga survey. “Apakah kalau tidak pilkada langsung tidak demokratis kan tidak juga. Banyak negara yang tidak menggunakan sistem langsung tapi sangat demokratis. Sebut saja Inggris atau Jepang, apa mereka tidak demokratis?” tanya Ryaas dengan nada tinggi.
Makanya, Ryaas termasuk yang menyesalkan keputusan SBY di akhir masa jabatannya, yang mengembalikan sistem Pilkada dari perwakilan ke langsung melalui Perpu. Padahal, DPR sudah merevisi dengan mengembalikan pilkada kabupaten/kota tidak secara langsung. “Menurut saya, itu dosa terbesar Pak SBY. Waktu itu saya sebagai penasehat Presiden SBY tidak menyetujui keputusan itu,” ungkapnya.
Terakhir, salahsatu lembaga negara, yakni Mahkamah Konstitusi (MK) yang lahir di era reformasi, ternyata lebih mementingkan hak-hak individu. Hal ini terbukti dari beberapa keputusan MK yang kontroversial, seperti membolehkan mantan narapidana ikut mencalonkan diri dalam Pilkada, mengizinkan Politik Dinasti dan membolehkan Pilkada walau hanya dengan satu calon. “Keputusan ini semua karena MK lebih menghargai hak-hak individu,” pungkas mantan Menpan itu.